Epigraf
Jeon Jeongguk adalah salah satu petugas utama yang menerima panggilan-panggilan darurat dari berbagai pelosok Korea Selatan, yang kemudian diteruskan dalam intruksi-intruksi gesit terhadap beberapa aparat berwenang. Selain menerima panggilan, Jeongguk juga memiliki tanggung jawab untuk menenangkan sang pemanggil, siapapun itu. Tidak jarang, ia menerima panggilan-panggilan iseng dan konyol.
Namun keenam panggilan ini meninggalkan begitu banyak jejak kengerian, yang hingga kini teramat sulit dienyahkan, bahkan tidak urung menghantuinya tiap kali matanya terpejam rapat.
Akan tetapi, disinilah Jeongguk kembali duduk. Di kursi yang sama, di belakang meja yang sama, ruangan yang sama dengan mesin penerima yang sama, juga headphone dengan mikrofon bersuara jernih yang sama.
Juga, masih dengan kalimat pembuka yang sama.
"Dengan 112 disini, ada yang bisa kami bantu?"
Emergency call 112
Waktu telah menunjukkan setengah sembilan malam, baik di layar monitor ataupun jam yang menempel pada dinding, maupun jam digital yang terletak di atas meja. Jeon Jeongguk duduk di kursinya, bersandar setelah menikmati kopi kira-kira lima menit yang lalu. Ia menganggukkan kepala pada beberapa rekan yang menyapanya dengan anggukan sopan, sebelum ia mendengar dering mesin telepon manual, dengan lampu mesin penerima yang berkedip kentara di ruangan yang remang-remang dengan aroma kopi.
Jeongguk meraih headphone, mengenakannya dengan gesit di kepala, membenahi posisi mikrofon dan segera menerima panggilan tersebut.
"Uh, halo?"
Suara itu terdengar sedikit berderak, suara pemuda di seberang sana terdengar begitu serak, namun masih terdengar begitu jelas dan bergema di kepalanya. Jeongguk pikir itu karena pemuda ini mencolokkan earphone, hingga bisikannya pun masih terdengar jelas.
"Dengan 112 disini, ada yang bisa kami bantu?" Jeongguk menegakkan punggungnya, posisi siap mendengarkan dan ia bersiap mencatat apapun informasi yang muncul. Suaranya datar, begitu terkendali, dan tenang.
"Pak... begini... saya pikir ada orang yang membuntuti saya,"
"Apakah orang tersebut jaraknya dekat dengan anda? Dimana anda sekarang? Boleh saya minta nama anda?" Jeongguk sebenarnya tidak perlu mencatat, karena suaranya dan suara Taehyung telah terekam dan terdengar jelas disetiap ruangan.
"Nama saya Taehyung, Kim Taehyung, mahasiswa semester tiga Universitas Hanguk," jeda sejenak, suara napas pemuda itu terdengar kacau dan tersengal di telinga Jeongguk, "saya berada di halte depan Universitas Hanguk, saya baru saja keluar dari gedung dan saya mendengar langkah kaki mengikuti saya. Sepertinya agak jauh tapi saya bisa mendengar langkahnya, bahkan walau saya telah berbelok ke daerah yang lebih sunyi. Bisakah anda, mengirim seseorang, atau siapapun, untuk menjemput saya sekarang?"
Jeongguk menekan beberapa tombol di dekatnya dan ia menerima konfirmasi bahwa telah ada yang menuju posisi pemuda bernama Taehyung tersebut.
"Kami sudah mengirim orang untuk menjemput anda, Taehyung-ssi. Jangan matikan sambungan dan tetap bersama saya, kemudian jangan berada di tempat yang sunyi. Saya minta untuk mencari tempat yang agak ramai."
"Mmm... saya sedang menuju minimarket, apa itu lebih baik?"
"Pastikan ada orang lain yang melihat anda, Taehyung-ssi,"
"Baik, saya dalam perjalanan sekarang," suara Taehyung di seberang sana mengecil, terdengar seperti cicitan dan membuat jantung Jeongguk mencelos mendengarnya, "dia masih mengikuti saya, Pak. Apa yang harus saya lakukan?"
"Tetap tenang dan terus berjalan, Taehyung-ssi. Apakah anda mengenal siapa yang mengikuti anda?"
"Saya tidak tahu, sudah seminggu ini saya merasa diikuti. Tapi kali ini dia semakin mendekat, saya tidak bisa mengenali wajahnya."
"Sudahkah anda memberitahu orangtua ataupun sanak keluarga anda perihal ini?"
"Saya bukan orang Seoul asli, pak. Saya dari Daegu, saya hanya sendirian, tidak ada keluarga juga. Saya benar-benar sendirian."
"Apakah anda telah menghubungi teman-teman anda?" Jeongguk mencengkeram kuat pinggiran meja untuk menahan getaran suaranya dalam batas minimum, walaupun ia telah disumpah untuk melakukan pekerjaan ini dengan profesional, terkendali, dan selalu tenang, ia tidak bisa menampik bahwa emosinya juga selalu bergejolak tanpa sadar. Ia tidak bisa menahan rasa khawatirnya.
"Saya telah menghubungi teman-teman saya, semuanya, tapi tidak ada satupun yang mengangkat."
"Kenapa bisa begitu? Benar-benar tidak ada yang mengangkat? Satupun?" Jeongguk bisa mendengar gesekan baju Taehyung, suara napas pemuda itu dan langkah kakinya lewat headphone di kepalanya. Kemudian ia mendengar suara tiupan pelan dan gesekan,
Jeongguk asumsikan pemuda itu tengah meniup tangan dan menggosokkan telapaknya.
"Sebenarnya ada pesta di rumah teman saya hari ini, di rumahnya yang ada di pinggir kota. Saya pikir semua teman saya ada di sana dan terlalu tidak ada satupun yang mengangkat panggilan saya."
Dada Jeongguk kali ini berdebar tidak nyaman mendengar suara lirih Taehyung, pemuda itu seolah sengaja memelankan suaranya. "Kenapa anda tidak ikut berpesta bersama teman-teman anda?"
"Saya ingin datang, tapi tidak bisa. Ada mata kuliah wajib yang harus saya hadiri malam ini dan saya tidak bisa mengambil izin jika ingin nilai saya selamat, saya hanya terpikir untuk menghubungi nomor ini," kemudian Jeongguk mendengar suara napas Taehyung yang tertahan, seolah tercekat, kemudian napasnya yang sedikit tersengal, "Ya Tuhan, Ya Tuhan, astaga,"
"Sesuatu terjadi, Taehyung-ssi?"
"Dia semakin dekat, Pak. Dia semakin dekat. Apa yang harus saya lakukan? Cepatlah datang, saya mohon, cepatlah, tolong... oh God," suara Taehyung terdengar kacau, "bagaimana jika dia berbuat sesuatu? Apakah saya harus lari?"
"Tetap tenang, Taehyung-ssi. Kami telah mengirimkan seseorang menuju posisi anda. Yang harus anda lakukan hanyalah tetap tenang dan tetap bersama saya, jangan putuskan telepon ini. Anda mengerti, Taehyung-ssi?" Jeongguk tidak sengaja menyenggol gelas kopi dengan sikunya sehingga setengah isinya tumpah ke paha Jeongguk, namun Jeongguk tidak memikirkan hal itu, nada Taehyung benar-benar ketakutan dan Jeongguk tahu ia ada disini untuk menenangkan siapapun yang menghubungi ke tiga digit nomor yang dihapal seluruh warga Korea Selatan tersebut.
"Saya mengerti," suara Taehyung begitu gemetar untuk toleransi ketenangan Jeongguk, kemudian terdengar pemuda itu merutuk pelan, "dia semakin dekat, dia terus mengikuti saya, apa yang harus saya lakukan? Please, please, please...."
"Tetap berjalan Taehyung, jangan menoleh ke belakang. Kami akan mendatangimu, mohon tunggu sebentar lagi "
"Bagaimana saya menunggu? Dia semakin dekat, Ya Tuhan, saya melihat kilapan, sepertinya dia memegang pisau,"
"Taehyung-ssi, bertahan sebentar lagi, hanya sebentar tetap bersama saya sampai orang yang kami kirim menemui anda," Jeongguk terdiam sejenak, namun ia tidak mendengar balasan Taehyung. Rasa khawatir itu kian menambah, menyesakkan rongga dadanya dan membuat nyeri berdenyut di kepalanya, "Taehyung-ssi?"
Samar-samar, Jeongguk mendengar napas Taehyung semakin memburu, ia juga mendengar suara begemerisik. Napas pemuda itu pendek-pendek dan repetitif, namun yang membuat Jeongguk merasa sesuatu yang dingin mengusap tengkuknya bukan itu, namun suara tawa samar-samar. Tawa yang terdengar psikopat dan kini ia mendengar isakan, isakan Taehyung yang begitu pelan dan membuat dadanya berdebar kencang, adrenalinnya terpacu begitu rusuh, dan tiba-tiba saja ia menemukan dirinya digempur kepanikan.
"Taehyung-ssi?" Jeongguk memanggil lagi, bertanya waswas, "anda masih disana, Taehyung-ssi? Tetaplah bersama saya-"
"Dia tertawa, Pak, he is fucking laughed and also right behind me," suara Taehyung gemetar, gemerisik dan suara berderak, mungkin gesekan baju Taehyung, terdengar ribut, suara Taehyung hanya berupa bisikan pelan, hampir tidak terdengar dan diselubungi rasa takut, kegelisahannya terdengar kentara, "am i die tonight, sir? Please, please, im so scared... please, sir-aaaAAARRGGHH!!!"
Jeongguk segera bangkit hingga kursi yang ia duduki kini jatuh menimpa lantai, ia bisa mendengar betapa keras teriakan Taehyung, disertai racauan penuh kepanikan, melengking membelah kepalanya dengan jejak teror yang meninggalkan bekas. Selain itu, ia mendekar suara retakan yang teramat dekat, bisa saja ponsel yang digunakan Taehyung terjatuh ke trotoar, namun suara itu terdengar begitu nyaring seolah diempas ke aspal.
Kemudian hening begitu saja.
"Taehyung-ssi? Ada apa? Anda mendengar saya? Apa anda-"
Suara datar operator telepon terdengar, sambungan terputus begitu saja, napas Jeongguk memburu, kelopak matanya terbuka lebar dan keningnya berkeringat. Ia melepas headphone di kepala dan dibiarkan menggantung di leher, membiarkan tangannya bertumpu di meja, mengatur napasnya yang kacau menderu.
Keheningan setelahnya terasa begitu mencekam.
Hembusan nafas panjang keluar begitu saja, Jeongguk sedikit memijit pelipisnya, perutnya terasa amat mual, ditambah lagi ia belum makan dari tadi siang.
Suasana hening ini tidak membantu sama sekali, rasanya kepalanya amat sangat sakit, sebelum dering ponsel dari dalam celana jeansnya berbunyi, menelusup masuk kedalam keheningan.
Menginterupsinya yang merenung terdiam sejak panggilan terakhirnya tadi.
Jeongguk meraih ponselnya, menempelkan benda canggih itu ketelinganya yang terasa kosong semenjak melepas headphonenya, tanpa repot-repot melihat siapa yang menelponnya. Mulutnya terasa pahit, ingin menghisap sebatang nikotin, tapi rasanya tenggorokannya amat sakit bahkan hanya untuk sekedar menelan ludahnya sendiri.
"Halo pak? Maaf lama, dia tidak bisa diam bahkan mencoba berlari ke minimarket, tapi sekarang saya sudah menanganinya."
Walau samar, seringai kini mulai terbit dibilah bibir tipis Jeongguk.
°°°
Catatan : epi·graf /épigraf/ n 1 prasasti; 2 Sas kalimat atau bagian kalimat pada bagian awal karya sastra yang menggambarkan tema
Penulis: Bilee