"cape banget." Tandasku sambil meraih gelas, mengisinya dengan air putih, menegak air putih itu dengan rakus, karna sungguh, rasanya tenggorokanku kering sekali, sebelum akhirnya tidur berbaring diatas kasur,  tanpa terasa beberapa tetes air mata mulai mengalir dari pelupuk mataku.

Hari ini aku ingin mencoba untuk keluar dari zona nyamanku lagi, dimana aku yang awalnya lebih senang berdiam diri dikamarku, tidur berbaring sambil bermain ponsel.

Sulit bersosialisasi, malas sekali apabila terkadang aku harus memaksakan diri mencari teman baru dilingkungan baru, setiap sudah bersosialisasi aku selalu merasa lelah, selalu merasa setengah nyawaku terenggut dengan paksa, yang membuatku terkadang sampai hanya bisa terbaring lemah dikasur sepulang sekolah.

Bahkan aku hanya memiliki tiga orang teman dekat, yang menurutku itu sudah menjadi sebuah pencapaian terbesarku saat ini.

Berangkat sekolah lalu pulang begitu saja tiap harinya, selalu cepat-cepat pulang kerumah tanpa ada niat berlama-lama disekolah, bahkan terlalu malas hanya untuk berdiam diri sebentar disekolah mungkin mengobrol beberapasaat bersama teman? Mungkin itu yang membuatku terasa asing bagi beberapa orang disekolahku.

Pada saat aku pertama kali menginjakkan kaki di SMA aku mencoba untuk keluar dari zona nyamanku, dengan cara ikut organisasi OSIS, tapi lagi-lagi aku kalah, merasa takut dan lebih memilih keluar dari OSIS, kembali menjadi seseorang pengecut yang takut keluar dari zona nyamannya sendiri, lebih memilih bersembunyi kembali dikamarnya, kembali menutup diri, dengan ketakutan-ketakutan yang terus menerus menyeruak mendorong masuk satu persatu kedalam kepalaku.

Kali ini aku kembali mencoba keluar dari zona nyamanku, mengawalinya dengan cara mengikuti lomba disekolahku. Lomba pidato mewakili kelasku, bahkan aku sampai tidak tidur karna terus berlatih.

Dan hasilnya?
Aku kalah.

Sekarang yang aku lakukan hanya menangis, entah harus bagaimana, merasa malu pada teman-temanku karna sok superior sekali mengajukan diri untuk menjadi perwakilan kelas, merasa malu pada kedua orangtuaku, karna dengan percaya dirinya malam itu menelpon mereka bercerita akan mengikuti lomba.

Terlebih aku merasa malu pada diriku sendiri.

Saat sedang asik-asiknya menyalahkan diriku sendiri, aku melihat ponselku bergetar, dengan layar yang menampilkan nama Mamah dengan hiasan hati ungu diujung namanya.

Tanpa pikir panjang, aku segera meraih ponselku, menggeser icon pada warna Hijo dilayar, yang artinya aku mengangkat telponnya, baru teringat hari ini belum menelpon beliau, pasti mamah khawatir.

aku tinggal jauh dari Mamahku, tinggal di Bandung bersama nenekku, pergi merantau ke Bandung dari kota kecilku dengan beban harapan kedua orangtuaku.

Kasian sekali mereka, kalau tau anak yang mereka banggakan ini, ternyata begini.

"Hallo? Mamah ganggu kamu ya? Mamah khawatir kamu kenapa-napa, dari tadi pagi kok tumben kamu belum ngasih kabar."

"Nggak kok Mah, Bile gak papa, ini Bile  lagi istirahat. Maaf ya tadi belum sempet ngabarin, cape banget, ini sekarang lagi tiduran baru pulang sekolah."

Aku menghapus air mata dipipiku sambil mengubah posisi menjadi duduk, mengambil napas panjang, bersiap mungkin kalau-kalau mamah akan bertanya bagai mana lomba tadi, atau mungkin bertanya apakah aku menang atau kalah.

Bersiap untuk mungkin setidaknya menerima beberapa ucapan kekecewaannya pada diriku.

"Alhamdulillah kalau gitu, Mamah tadi khawatir banget, sekarang kamu udah makan atau belum? Kamu gak sampe lupa makan, kan? Walaupun kamu sibuk, makan jangan sampe kelupaan, nanti kalau kamu sakit gak ada Mamah yang ngurusin kamu disana."

Aku tertawa, ngebayangin gimana khawatirnya Mamah. Dari suaranya aja kedengeran banget seberapa khawatirnya Mamah, merasa sedikit bersalah karna tadi sudah berpikiran negatif pada Mamah.

Jadi kangen rumah. Kangen kumpul sama keluarga. Gimana Ayah, Mamah, Sama Alfira adik kecil ku? Semoga saja di rumah, Alfira jadi anak baik-baik yang peduli sama Ayah Mamah. Nyesel dulu aku sering menghabiskan lebih banyak waktu bermain diluar, sudah pisah jauh begini gak bisa ketemu sama sekali.

"Kamu bukannya ngejawab, malah ketawa, udah gitu diem lagi."

Tadi Mamah nanya apa? Aku sampe lupa.

"Udah kok Mah, tadi disekolah pas istirahat jajan nasi timbel."

"Sekarang gak makan lagi? Sehari makan berapa kali? Jangan sampe kamu kelaparan kena maag."

"Iya iya, gak bakal Mah, gak bakal lupa makan, paling sedikit makan dua kali sehari."

"Dua kali itu kurang, harusnya minimal tiga kali sehari."

Sehari makan dua kali itu cukup. Sarapan sama makan sore atau malem, kebiasaan di rumah dulu selalu sarapan, jadi kebawa sampai sekarang, ditambah kalau pagi-pagi pasti Nenek ribut banget maksa harus sarapan, gak boleh kelewat.

"Dari pada gak makan sama sekali? Tenang, gak bakal kelaperan kok Mah, Mamahkan rutin ngirim uang bulanan." Aku ketawa pelan, terus lanjut ngomong. "Mamah juga, jangan lupa jaga kesehatan biar gak sakit."

"Mamah ini walaupun udah tua tetep kuat, gak mengenal kata sakit."

"Anaknya lebih kuat lagi, udah kuat, geulis, cantik juga."

"Kamu ya, malah bercanda. Apa bedanya geulis sama cantik."

"Beda khurufnya Mah, beda bahasa juga, geulis bahasa Sunda, cantik bahasa Indonesia."

Mamah ketawa, aku juga ikut ketawa.

"Nenek dimana bil? Enggak disitu sama kamu?"

"Ada mah, itu lagi khusyuk banget nonton sinetron azab di ruang TV, Bilee lagi dikamarkan mah, tiduran, capek banget."

Mamah belum sempet ngomong apa-apa, ada suara lain disebrang sana.

"Mamah lagi telpon siapa? Teh Bilee? Teh? Teteh? Fira kangennn. Kapan pulang?"

"Kamu udah selesai belajarnya? Tidur siang gih, nanti sore sekolah agama kan?"

Ini anak malah nanyain kapan pulang, aku juga kalau banyak waktu luang mau pulang kerumah. Mana libur semester masih lama.

"Kapan-kapan Fira, kalau Teteh pulang juga pasti ujung-ujungnya yang ditagih malah oleh-olehnya."

"Jelas dong Teh, wajib itumah."

"Udah-udah Teteh kamu lagi sibuk, siniin hp Mamah."

"Iya-iya, Fira mau tidur. Dadah tetehhh, cepet pulang, Fira kangennnn."

Gak lama kemudian, aku yakin hp ditangan Alfira udah balik lagi ke tangan Mamah.

"Masih nyambungkan telponnya?" Aku cuman diem, terus senyum, pasti mamah lagi ngecek layar hpnya."Bile? Haloo?"

"Ya, mah?"

"Ngantuk ya? Bentar, jangan ditutup dulu."

Aku gak nanggepin, ketawa doang.

"Dengerin baik-baik." Aku refleks nganggukin kepala."Kamu jangan maksain diri sendiri. Mamah gak pernah nuntut kamu buat jadi yang terbaik atau buat dapet nilai tinggi. Mamah gak mau kamu banyak beban pikiran, gak mau kamu stress gara-gara sekolah. Yang penting prosesnya, kamu bisa nikmatin yang kamu jalanin sekarang. Jangan ngebebani diri kamu. Punya kamu aja Mamah udah bangga."

Aku terdiam, cukup kangen, rasanya mau pulang aja kerumah, mau peluk mamah seharian, kapan yang terkahir kali manja-manja sama Mamah? Akhirnya aku cuman bales, "Iya Mah."

"Udah ah, bentar lagi Ayah kamu pulang, sebanyak apapun tugas, kamu jangan sampe banyak begadang, pasti kamu butuh tidur, udha ah, kalau dilanjut terus Mamah gak bisa berenti."

"Iya, kapan-kapan lagi ya Mah ngobrolnya, Bilee tutup ya telponnya."

Gak lama kemudian pamitan, terus matiin sambungan.

Selesai mengobrol sama Mamah ditelpon, aku kembali lagi rebahan di kasur. Aku jadi kepikiran kata-kata Mamah tadi di telpon. Dari dulu Mamah sama Ayah selalu ngedukung aku, aku gak ngapa-ngapain aja Mamah selalu bangga padaku, gimana kalau misalnya aku jadi anak yang berprestasi? Kalau misalnya aku menang lomba-lomba, terus bisa dapet beasiswa kuliah nanti?

Kenapa aku baru nyadar sekarang? Kenapa dulu pas Mts aku egois banget? Yang cuman seneng-seneng mentingin kemauan aku yang gak ada manfaatnya sama sekali?

Bodoh memang.

Sekarang bukan waktunya buat aku mengulangi kembali kesalahanku, aku gak mau ngabisin masa SMAku cuman buat seneng-seneng, main hp terus, atau nugas terus, aku mau ngeraih prestasi.

Mungkin semuanya harus dimulai dari kembali mencoba keluar dari zona nyamanku?


***

Penulis: Nabila Awalia (Santri Kelas XI IIK MA Alhuda 70 Pameungpeuk)

أحدث أقدم